Partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan kunci suksesnya kegiatan tersebut. Keberhasilan kegiatan RHL harus diukur dari kemajuan aspek ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Hal ini memerlukan adanya perubahan pola pendekatan dari yang bersifat menggurui (teaching) ke pola saling belajar bersama (learning) antara masyarakat dengan para pemangku kepentingan lainnya (stakeholders). Pengalaman pelaksanaan RHL dimasa lalu yang melibatkan masyarakat juga menyadarkan kita akan lemahnya kebersamaan mereka dalam berkelompok. Selain itu, upaya penumbuhan dan diversifikasi mata pencaharian (livelihood) serta pengembangan kelembagaan ekonomi antar masyarakat juga kurang mendapat perhatian. Memperhatikan hal-hal tersebut, maka tulisan ini akan membahas upaya mengintegrasikan kegiatan RHL kedalam matapencaharian (livelihood) masyarakat agar terbangun praktek-praktek terbaik yang spesifik lokasi (the right practise on the right field).
Kegiatan RHL selama ini yang mencoba melibatkan masyarakat melalui beberapa kegiatan yang dianggap sebagai perwujudan partisipasi, namun sebenarnya merupakan partisipasi yang semu. Praktek partisipasi yang terjadi selama ini dapat dikategorikan kedalam partisipasi sebagai berikut. Pertama, partisipasi pasif atau manipulatif. Ini merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah. Karakteristiknya adalah masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran program. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. Kedua, partisipasi informatif. Masyarakat hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk proyek, namun tidak berkesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses keputusan. Akurasi hasil studi, tidak dibahas bersama masyarakat. Ketiga,partisipasi konsultatif. Masyarakat hanya dimintai pendapat, tetapi pihak luar (pemerintah danstakeholders lainnya) yang mendefinisikan, menganalisis dan menentukan solusi atas permasalahan tersebut. Pada partisipasi ini belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Keempat,partisipasi insentif. Masyarakat memberikan korbanan dan jasa untuk memperoleh imbalan insentif berupa upah, walau tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran dan tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan setelah insentif dihentikan. Kelima, partisipasi fungsional. Masyarakat terlibat dalam setiap tahapan kegiatan dengan mengikuti aturan dan tujuan yang telah ditetapkan oleh pihak luar (pemerintah). Keterlibatan masyarakat dalam program tersebut diarahkan untuk membantu tercapainya tujuan pemerintah untuk merehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi melalui penanaman pepohonan yang jenisnya telah ditentukan oleh pemerintah. Bagi masyarakat, keterlibatannya dalam program tersebut lebih banyak didorong oleh keinginan mendapatkan lahan, pangan, upah, hadiah dan sebagainya. Hal ini berakibat, partisipasi masyarakat lebih dilandasi kepentingan memperoleh keuntungan materi yang bersifat sesaat.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL yang selama ini dilaksanakan, masih belum memberikan kontribusi yang efektif bagi keberhasilan program tersebut dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan program partisipasi yang dilakukan selama ini masih didasarkan pada visi pembangunan kehutanan yang berorientasi pada kemajuan fisik dan ekonomi sebagai ukuran keberhasilannya. Visi yang demikian tersebut berkembang dan berlandaskan pada beberapa asumsi yang sebenarnya belum tentu benar (Achadiat et al. 1998). Pertama, usaha kehutanan adalah usaha sumberdaya kayu semata (mengabaikan hasil hutan non kayu/HHBK). Kedua, usaha kehutanan adalah usaha skala besar dan padat modal sehingga perlu biaya tinggi. Ketiga, usaha kehutanan yang mengutamakan kerjasama dengan sejumlah kecil pengusaha lebih menguntungkan karena lebih memudahkan kontrol. Keempat, masyarakat adalah penerima keuntungan tidak langsung. Kelima, keikutsertaan masyarakat merupakan ”gangguan”. Kelima hal tersebutlah yang seringkali menghalangi pelaksanaan program kehutanan partisipatif, yaitu praktek kehutanan yang mengandalkan hasil hutan kayu dan non kayu (ekosistem hutan secara utuh), berskala kecil, melibatkan masyarakat sebagai pelaku yang setara dengan pelaku pengelolaan hutan lainnya.
Kegiatan RHL bukan sekedar urusan tanam-menanam, tetapi lebih luas dari itu yang mencakup beberapa aspek, yakni bio-fisik lahan, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Aspek-aspek tersebut merupakan hal utama yang perlu digarap (Setyarso, 2003).
Pentingnya dilakukan pemberdayaan potensi masyarakat adalah adanya “kasus” pada kegiatan RHL yang dibiayai oleh proyek pemerintah, setelah kegiatan tidak lagi dibiayai maka kondisi tanaman menjadi kurang terawat. Hal ini berakibat pada rendahnya keberhasilan tanaman RHL. Kasus ini muncul karena pelaksanaan kegiatan RHL yang selama ini dilakukan tidak menjadi bagian dari livelihood masyarakat, sehingga mereka kurang termotivasi untuk berpartisipasi secara berkelanjutan. Selain itu, kelembagaan yang ada seperti kelompok tani, pada umumnya ada karena ditumbuhkan dari atas (bentukan proyek) sehingga kurang “membumi”. Idealnya kelembagaan yang ada merupakan bagian integral dari livelihood masyarakat (penumbuhan dari bawah). Hal ini memerlukan adanya upaya untuk mengali potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Pemberdayaan masyarakat bertitik tolak pada pemikiran bahwa sebenarnya setiap individu petani mempunyai potensi yang dapat dikembangkan atau diberdayakan (bukan dimulai dengan melihat tumpukan masalah yang ada padanya).
Saat ini terjadi pergeseran dari pengabaian ke semakin peduli terhadap pengetahuan lokal. Para pihak yang terlibat dalam kegiatan RHLmenyadari bahwa terdapat pengetahuan lokal yang berkembang di dalam masyarakat. Masalah-masalah yang timbul akhir-akhir ini seperti kebakaran hutan dan lahan, degradasi hutan dan lahan serta berbagai bentuk kerusakan sumberdaya lahan lainnya tidak terjadi di masa lampau atau dengan kata lain pada masa itu sudah ada cara efektif untuk menangani masalah tersebut. Penanganan masalah yang terjadi pada pengelolaan hutan dan lahan merupakan bagian dari budaya yang ada.
Konsep partisipasi yang dikembangkan dalam pelaksanaan RHL adalah partisipasi interaktif danpartisipasi swadaya. Ciri dari partisipasi interaktif antara lain: (a) adanya kontrol atas sumberdaya hutan yang ditetapkan secara bersama oleh masyarakat dan stakeholders lainnya (pemerintah, pengusaha, dll) dan (b) keterlibatan masyarakat merupakan hak individu yang bersangkutan, bukan kewajiban yang dibebankan pihak luar kepada yang bersangkutan untuk mencapai tujuan yang seringkali ditetapkan untuk kepentingan pihak luar (Achadiat et al., 1998; Syahyuti, 2006). Ciri dari partisipasi swadaya antara lain: (a) adanya kontrol yang sepenuhnya atas sumberdaya hutan oleh masyarakat yang bersangkutan, dan (b) kerjasama dengan pihak luar dapat dilakukan oleh masyarakat yang bersangkutan tanpa harus kehilangan kemandirian dalam memegang kontrol atas sumberdaya hutan.
Insentif terbaik dalam pelaksanaan RHL adalah insentif yang terintegrasi kedalam aspek livelihood dan kearifan lokal. Hal ini dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat yang mencakup lima aspek berikut: (a) sumberdaya manusia (SDM), (b) organisasi, (c) budidaya (teknis usaha), (d) keuangan/ekonomi dan (e) kemitraan. Memperhatikan kelima aspek tersebut, maka pelaksanaan RHL dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: (a) produktivitas hutan dan lahan yang setinggi-tingginya, (b) kualitas produksi yang sebaik-baiknya, (c) adanya diversifikasi usaha baik horizontal maupun vertikal, dan (d) adanya mitra usaha yang menangani aspek pengolahan, pemasaran dan keuangan. Keempat faktor tersebut dapat terwujud, bila persyaratan berikut terpenuhi. Pertama, sumberdaya petani yang profesional. Kedua, kebersamaan, kekompakan dan keharmonisan seluruh petani (warga desa). Ketiga, kelembagaan petani yang kuat dan berfungsi melayani kebutuhan petani yang didukung oleh sistem keuangan yang transparan. Inti dari pelaksanaan RHL berbasislivelihood adalah mengakumulasikan potensi yang dimiliki individu petani (pendekatan dari bawah) untuk digunakan secara maksimal mewujudkan kesejahteraan mereka.
Proses perencanaan RHL partisipatif tingkat desa dilakukan dengan tahapan sebagai berikut. Pertama, melakukan Pengkajian Desa Partisipatif (PRA). Tujuan utama dari PRA dalam kegiatan RHL partisipatif adalah untuk menyusun rencana program RHL di tingkat desa yang memenuhi persyaratan: dapat diterima masyarakat, secara ekonomi menguntungkan dan berdampak positif bagi lingkungan. Kedua, membentuk kelompok kerja desa (KKD). Kelompok ini merupakan lembaga yang terdiri atas kelompok peminat program, tenaga ahli lokal (tokoh masyarakat), LSM pendamping dan perangkat pemerintahan desa. Lembaga ini berfungsi untuk memfasilitasi, melatih, mendampingi dan mengasistensi individu petani peminat program (kepala rumah tangga peminat program). Ketiga, perencanaan tingkat rumah tangga (household). Ujung tombak keberhasilan program RHL adalah individu petani (kepala rumah tangga peminat program). Oleh karena itu, pelaksanaan RHL partisipatif perlu memperhatikan aspirasi individu petani, utamanya dalam preferensi jenis pohon yang akan ditanam dan pola tanam yang akan digunakan. Perencanaan RHL tingkat rumah tangga merupakan mekanisme pelaksanaan RHL yang bottom-up. Keempat, konsolidasi. Hal ini merupakan tahapan setelah masing-masing individu petani (kepala rumah tangga peminat program) menyelesaikan usulannya, dan usulan tersebut telah dibahas oleh KKD. Selanjutnya KKD akan mengajukan hasil pembahasan kepada pemerintah. Implemantasi RHL partisipatif di lapangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut. Pertama, penentuan lokasi yang akan direhabilitasi. Lokasi lahan yang akan direhabilitasi di tingkat desa ditentukan bukan berdasarkan pola hamparan tetapi berdasarkan pada petani peminat program. Petani yang berminat mendaftarkan dirinya sebagai petani peserta program yang selanjutnya bergabung dalam kelompok peminat program. Lokasi pelaksanaan program ditentukan berdasarkan pada petani peminat bukan hamparan lahan, karena individu petani peminat program masing-masing telah mempunyai kesadaran (awareness), ketertarikan (interest), keinginan yang kuat (desire) dan kemampuan untuk bertindak (action) dalam mensukseskaan kegiatan RHL. Keempat sikap positif tersebut (AIDA) sangat penting dalam pelaksanaan RHL partisipatif. Kedua, pelibatan tokoh panutan (key person). Tokoh panutan bagi petani di desa, mempunyai pengaruh besar pada cara pandang dan cara tindak mereka. Secara umum, petani di desa mencirikan masyarakat yang paternalistik, dimana faktor karakter tokoh desa akan banyak mempengaruhi dinamika kehidupan mereka (Pranadji, 2003). Ciri paternalistik masyarakat di pedesaan dapat dipandang sebagai potensi kelembagaan petani di pedesaan untuk dijadikan energi bagi keberhasilan program RHL. Ketiga, penyusunan kontrak kerja. Kontrak kerja didasarkan pada kesepakatan musyawarah yang dituangkan dalam surat kesepakatan bermeterai. Hal ini dimaksudkan agar kesepakatan tersebut mengikat kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan kesepakatan tersebut. Keempat, implementasi kontrak kerja di lapangan. Langkah selanjutnya adalah implementasi semua hal yang telah disepakati dalam kontrak kerja. Pada aspek implementasi ini, faktor keberlanjutan merupakan hal yang pokok. Keberlanjutan dapat tercipta jika kondisi berikut terpenuhi, yakni: (a) pelatihan bagi petani peminat program untuk memfasilitasi dan melatih petani yang lainnya, (b) dukungan keuangan dan teknis membangun kapasitas, (c) mempercepat dan mendukung terbentuknya institusi lokal yang kuat, (d) pelaksanaan program berprinsip: masyarakat yang memutuskan, memilih dan mengelola, (e) terjalinnya jaringan kerja antar desa-desa (antar KKD) dan (f) desentralisasi budget dan sumberdaya.
Pelaksanaan RHL partisipatif memerlukan adanya modal sosial (social capital) yang memadai. Modal sosial secara sederhana diartikan sebagai bangunan “saling berbagi dan percaya”. Kondisi bangsa Indonesia saat ini menunjukkan menurunnya modal sosial. Penurunan ini terjadi karena tereduksinya peran lembaga-lembaga sosial tradisional yang merupakan lembaga bottom-up yang dibangun oleh inisiatif masyarakat. Oleh karena itu, agar pelaksanaan RHL partisipatif dapat terlaksana dengan baik maka pembenahan modal sosial sangat diperlukan. Dengan semangat dan prinsip “saling berbagi dan percaya” marilah kita lakukan kegiatan RHL dengan lebih berdayaguna dan berhasil.
Sumber: http://foreibanjarbaru.or.id/archives/682
0 komentar:
Posting Komentar